Senin, 26 Januari 2009

Dasar Pelaksanaan Dakwah

DASAR PELAKSANAAN DAKWAH

Islam adalah agama dakwah. Tanpa dakwah niscaya Islam akan lenyap dari permukaan bumi. Dengan dakwah, Islam dapat tersebar dan diterima oleh manusia. Dengan dakwah pula, umat manusia menjadi terselamatkan dari kehancuran.

Titik tolak yang mendasari pelaksanaan dakwah adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW.

Begitu banyaknya ayat al-Qur'ân yang berkaitan dengan aktivitas dakwah, dan demikian pula sunnah Nabi, menunjukkan betapa dakwah menduduki posisi yang sangat penting dalam agama Islam.

Dasar-dasar pelaksanaan dakwah dari al-Qur'ân di antaranya :

  1. Surat al-Nahl ayat 125 :

أُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالحِْكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ٠
النحل١٢٥

"Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."

Ayat di atas merupakan pedoman bagaimana seharusnya melaksanakan dakwah dengan baik yaitu dengan hikmah, maw'idhah hasanah dan mujadalah.

  1. Surat 'Âli 'Imrân 110
    كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
    لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِوَتُؤْمِنُوْنَ بِالله

    ال عمران
    ١١٠


    "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah."

Ayat di atas mengandung suatu dorongan kepada umat Islam supaya tetap memelihara sifat-sifat utama sebagai suatu syarat menjadi umat yang terbaik. Sifat-sifat utama itu adalah mengajak kebaikan serta mencegah kemunkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Sifat-sifat utama inilah yang mengantar umat Islam di masa Nabi Muhammad SAW sebagai umat yang terbaik. Dalam waktu singkat mereka telah mampu menjadikan tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang terpecah belah dan berada dalam suasana penuh pertentangan.

Jadi ada dua syarat untuk menjadi sebaik-baik umat : pertama, iman yang kuat, kedua, menegakkan amar makruf dan mencegah kemunkaran. Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat ini pasti umat itu jaya dan mulia dan apabila kedua hal itu diabaikan dan tak dipedulikan lagi, maka tidak dapat disesalkan bila umat itu jatuh ke lembah kemelaratan.

  1. Surat 'Âli 'Imrân 104:

ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكروأولئك هم المفلحون ال عمران 104

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung."

Ayat di atas terkait dengan perintah kepada umat Islam untuk bersatu dan menghindari perpecahan. Maka supaya persatuan itu tetap terjaga, di antara umat Islam harus ada segolongan yang bergerak di bidang dakwah yang menyerukan kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.

Menganjurkan berbuat kebajikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan, maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya yaitu: kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kokoh tidak akan tercapai kecuali dengan sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah. Maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar agama dapat berkembang dengan baik dan sempurna sehingga banyak pemeluknya.

Dengan dorongan agama tercapailah bermacam-macam kebajikan sehingga terwujud persatuan yang kuat. Dari persatuan yang kuat akan timbul kemampuan yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat perjuangan itulah oaring-orang yang sukses dan beruntung.

  1. Surat al-Tawbah ayat 71 dan ayat 67

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالَمَعْرِوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ اُولئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ التوبة ٧١

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagia sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Alla, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

المنفقون والمنفقت بعضهم من بعض يأمرون بالمنكر وينهون عن المعروف ويقبضون أيديهما نسواالله فنسيهم ان المنفقين هم الفسقون التوبة 67

"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang munkar dan melarang berbuat yang makruf dan mereka menggenggam tangannnya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasiq."

Mencermati dua ayat di atas dapat difahami bahwa dakwah harus dilakukan secara bersama oleh orang mukmin dalam rangka menegakkan kebajikan dan menghapus kemunkaran. Jangan sampai orang mukmin meniru kaum munafiq yang justru berbuat sebaliknya yaitu menegakkan yang munkar dan menghapus yang makruf.

Selain itu dapat diketahui bagaimana perbedaan sifat antara orang-orang mukmin dengan orang-orang munafiq, di antaranya :

  1. Orang-orang mukmin menyuruh manusia berbuat baik (amar makruf), sedang orang-orang munafiq menyuruh manusia berbuat munkar (amar munkar).
  2. Orang-orang mukmin melarang manusia berbuat munkar (nahi munkar) sedang orang-orang munafiq melarang manusia berbuat baik (nahi makruf).

    Imam al-Qurtubi mengatakan dalam tafsirnya, "Allah telah menjadikan 'amar ma'rûf nahiy munkar sebagai pembeda antara orang mukmin dan orang munafiq. Dengan demikian maka hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya di antara ciri-ciri yang paling istimewa dari orang-orang beriman adalah amar ma'rûf nahiy munkar."

  3. Orang-orang mukmin mengerjakan salat dengan khushu' dan tawadu' dengan hati yang ikhlas sedang orang-orang munafiq mengerjakan salat dalam keadaan terpaksa dan riya'.
  4. Orang-orang mukmin selain mengeluarkan zakat, tangan mereka terbuka untuk kesejahteraan umat dan memberikan sumbangan sosial, sedang orang-orang munafiq bersifat kikir; jika mereka mengeluarkan zakat atau derma disebabkan karena khawatir atau karena riya', bukan karena ikhlas kepada Allah.
  5. Orang-orang mukmin terus-menerus berada di atas ketaatan kepada Allah dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengerjakan segala perintah menurut kesanggupan sedang orang-orang munafiq adalah orang-orang yang terus menerus di atas perbuatan maksiat.
  1. Surat al-Mâ'idah 77 dan 78

لعن الذين كفروا من بني إسرائيل على لسان داود وعيسى ابن مريم ذلك بما عصوا وكانوا يعتدون0كانوا لايتناهون عن منكر فعلوه لبئس ماكانوا يعتدون المائدة 77 & 78

"Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas."

"Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu"

Dua ayat di atas menjelaskan tentang kemurkaan dan kutukan Allah kepada orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil ketika kemunkaran-kemunkaran terjadi di hadapan mereka. Kemaksiyatan dan pelanggaran hukum-hukum Allah dengan cara melampaui batas dibiarkan terus berlangsung. Tidak ada 'amar ma'rûf nahiy munkar. Maka Allah menjatuhkan kutukan dan kemurkaan kepada mereka.

Hal di atas adalah peringatan bagi umat Islam. Bagaimanapun kemunkaran dan kemaksiyatan merupakan penyakit masyarakat yang harus segera ditangani sebelum menyebar di dalam masyarakat. Apabila dibiarkan, jangan disesali kalau Allah menjatuhkan 'adhâb kepada masyarakat termasuk kepada umat Islam.

  1. ٍSurat Fussilât 33

ومن أحسن قولا ممن دعاالى الله وعمل صالحاوقال إنني من المسلمين فصلت 33

"ٍSiapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."

Ayat di atas menerangkan seseorang dikatakan orang yang paling baik perkataannya ialah orang yang perkataannya itu mengandung tiga perkara yaitu:

  1. Orang yang menyeru orang lain untuk mengikuti agama tauhid, mentauhidkan Allah dan taat kepada-Nya.
  2. Mengerjakan amal saleh, taat melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-Nya
  3. Orang yang menjadikan agama Islam sebagai agama dan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya saja.

Dari ayat di atas dapat pula dipahami bahwa sesuatu yang paling utama dikerjakan seorang muslim adalah memperbaiki diri terlebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada, mentaati segala perintah Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya. Setelah diri diperbaiki serulah orang lain mengikuti agama Allah. Orang yang bersih jiwanya, kuat imannya, selalu mengerjakan amal saleh, dakwahnya atau ajakannya lebih diperhatikan orang, karena ia berdakwah atau menyeru orang lain dengan keyakinan yang kuat dan dengan suara yang mantap, tidak ragu-ragu.

Adapun hadith yang menerangkan tentang dakwah antara lain :

  1. Hadith yang diriwayatkan Imam Muslim

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ

Barang siapa di antara kamu melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia /mengubahnya/mencegahnya dengan tangannya
(dengan kekuatan atau kekuasaan); jika ia tidak sanggup berbuat demikian (karena tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan) maka dengan lisannya; dan jika (dengan lisannya) masih tidak sanggup, maka hendaknya mencegah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.

Hadith di atas menegaskan bahwa setiap muslim harus mampu mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya terutama dalam mencegah kemunkaran. Bila ia mampu dengan tangannya (kekuatan atau kekuasaan) maka gunakanlah kemampuan itu seoptimal mungkin. Bila memang hanya mampu melalui lisan, maka gunakanlah kemampuan melalui lisan itu seoptimal mungkin. Tapi bila kedua kemampuan di atas sudah tak dimiliki, maka pertahanan terakhir yaitu hati haruslah tetap dalam kondisi beriman pada Allah dan memiliki pendirian menolak kemunkaran.

  1. Hadith yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah

من دعا الى هدى كان له من الأجر مثل أجور من اتبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا ومن دعا الى ضلالة فعليه من الإثم مثل أثام من اتبعه لا ينقص ذلك من أثامهم شيئا رواه ابن ماجه

Barangsiapa mengajak pada petunjuk, ia berhak mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun; dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, ia berhak mendapat dosanya seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.

Hadith di atas menegaskan bahwa dakwah Islamiyah (mengajak orang pada petunjuk Ilahi) akan mendatangkan keuntungan ukhrawi sedangkan mengajak orang pada kesesatan akan menuai dosa.

  1. Hadith yang diriwayatkan Abû Dawûd dan Turmudhiy dari Ibn Mas'ûd

إن أول ما دخل النقص على بني إسرائيل أنه كان الرجل يلقى الرجل فيقول ياهذا إتق الله ودع ما تصنع فإنه لا يحل لك ثم يلقاه من الغد وهو على حاله فلا يمنعه ذلك ان يكون أكيله وشريبه وقعيده . فلما فعلوا ذلك ضرب الله قلوب بعضهم ببعض . ثم قال (الأية 78 – 81) ثم قال النبي ص.م. كلا والله لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكرثم لتأخذن على يد الظالم ولتأطرن على الحق أطرا ولتنصرنه علىالحق نصرا اوليضربن الله قلوب بعضكم ببعض ثم يلعنكم كما لعنهم.

"Awal mula kekurangan yang menimpa Bani Israil adalah pertemuan seorang lelaki dengan lelaki lain (yang salah seorang membuat kemunkaran). Maka berkata (laki-laki yang tidak mengerjakan munkar), "hai kawanku takutlah kepada Allah dan tinggalkan perbuatanmu karena perbuatanmu itu tidak halal bagimu." Kemudian hari berikutnya (laki-laki yang menegur) berjumpa lagi dengan lelaki itu sedang membuat kemunkaran seperti biasanya, maka tidak dicegahnya lagi malahan dijadikan teman makannya, teman minumnya dan teman duduknya. Maka setelah perbuatan munkar tersebut merata di kalangan umum, Allah menjadikan mereka bergontok-gontokan. Kemudian Nabi membacakan ayat 78-81 surat al-Ma'idah (kepada kaum mukminin). Kemudian Nabi bersabda: "sekali-kali tidak, demi Allah kamu semua hendaknya menegakkan amar ma'rûf nahiy munkar kemudian hendaklah kamu mencegah perbuatan orang yang zalim dan hendaklah kamu memaksakan kepadanya menerima kebenaran itu; jika tidak, niscaya Allah akan menjadikan kamu saling bergontok-gontokan, kemudian Allah akan mengutukmu sebagaimana orang-orang Yahudi."

  1. Hadith yang diriwayatkan Turmudhy

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ اَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ اَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Demi Dhat yang menguasai diriku, haruslah kamu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, atau Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Allah tidak mengabulkan permohonanmu.

Mencermati hadith yang terdapat pada nomor 3 & 4 di atas, pesan pokok yang tersirat darinya adalah bahwa dakwah dalam ujud amar ma'rûf nahiy munkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Manakala umat Islam mengabaikan kewajiban tersebut, laknat Allah –seperti yang dialami Bani Israil– niscaya akan turun. Bahkan lebih dari itu 'adhâb Allah pun akan ditimpakan. Bila adhab itu sudah turun, biasanya yang terkena adalah semua orang tidak hanya pembuat kemunkaran, tetapi yang tidak melakukan pun akan terkena. Tragisnya, kalau sudah demikian doa orang mukmin tidak akan dikabulkan oleh Allah.

Dalam kaitan dengan persoalan di atas Nabi Muhammad membuat perumpamaan lewat hadithnya :

مثل القائم فى حدود الله والواقع فيهاكمثل قوم استهموا على سفينة فصار بعضهم أعلاها وبعضهم أسفلها فكان الذين فى أسفلهاإذااستقوا من الماء مروا على من فوقهم فقالوالوأناخرقنافى نصيبناخرقاولم نؤذ من فوقنا فإن تركوهم وما أرادوا هلكوا جميعا وإن أخذواعلى أيديهم نجوا ونجوا جميعا

"Perumpamaan orang yang tegak di atas ajaran Allah dan yang meningggalkannya, seperti orang-orang yang berdesakan di atas kapal. Sebagian berada di atas dan sebagian berada di bawah. Orang-orang yang ada di bawah, apabila mengambil air harus melewati orang-orang yang ada di atasnya. Maka mereka berkata, 'Bagaimana jika kita lubangi saja bagian yang di bawah kita ini, sehingga tidak usah mengganggu yang di atas ?' Jika orang-orang yang di atas membiarkan apa yang mereka inginkan niscaya tenggelamlah semuanya. Tetapi jika mencegahnya, selamatlah mereka dan selamatlah semuanya." (H.R. Bukhari)

Tujuan Dakwah

Dakwah merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Tujuan inilah yang akan memandu kegiatan dakwah. Manakala aktivitas dakwah tidak memiliki tujuan, sia-sialah aktivitas tersebut.

Tujuan dakwah sangat berperan dalam penentuan penggunaan metode dan media dakwah, serta penentuan sasaran dan strategi dakwah. Dengan demikian tujuan dalam dakwah sebagai bagian dari seluruh aktivitas dakwah mestilah dicermati sebaik-baiknya.

Dalam masalah tujuan dakwah ini banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Sebagian sudah dikemukakan pada pembahasan definisi dakwah dan yang lainnya adalah sebagai berikut :

  1. Menurut A. Hasjmy tujuan dakwah adalah membentangkan jalan Allah di atas bumi agar dilalui umat manusia. Artinya tujuan dakwah adalah mengajak orang untuk mengikuti agama Allah yakni shari'at Islam.
  2. Menurut Amrullah Ahmad, tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan.
  3. Menurut Bisri Affandi, yang diharapkan oleh dakwah adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan ideal maupun aktual, baik pribadi maupun keluarga dan masyarakat, way of thinking atau cara berpikirnya berubah, way of life atau cara hidupnya berubah menjadi lebih baik ditinjau dari segi kualitas maupun kwantitas. Yang dimaksud kualitas adalah nilai-nilai agama sedangkan kwantitas adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin dimiliki banyak orang dan banyak dalam segala situasi dan kondisi.
  4. Menurut M. Hafi Anshari, tujuan dakwah yang tertinggi adalah mengharap dan mencari rida Allah swt. Tujuan ini dicapai melalui usaha :
    1. menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya;
    2. mengeluarkan manusia dari kegelapan/kesesatan menuju ke alam yang terang benderang di bawah petunjuk Ilahi.
  5. Menurut Jum'ah Amin Abdul Aziz tujuan dakwah adalah :
    1. membangun masyarakat Islam
    2. melakukan perbaikan pada masyarakat Islam yang terkena "musibah" berupa penyimpangan dan tampak di dalamnya sebagian dari kemunkaran-kemunkaran, serta diabaikannya kewajiban-kewajiban oleh masyarakat tersebut.
    3. Memelihara keberlangsungan dakwah di kalangan masyarakat yang telah berpegang pada kebenaran, yaitu dengan pengajaran terus menerus, tadhkir (pengingatan), tazkiyah (penyucian jiwa), dan ta'lim (pendidikan).
  6. Menurut M. Natsir, dakwah bertujuan menjadikan manusia yang dapat menciptakan "Hablum minallah" dan "hablum minannas" yang sempurna yaitu :
    1. menyempurnakan hubungan manusia dengan Khaliqnya (hablum minallah)
    2. menyempurnakan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas)
    3. mengadakan keseimbangan (tawazun) antara kedua itu dan mengaktifkan kedua-duanya sejalan dan berjalan.
  7. Menurut Abd. Rosyad Shaleh, tujuan dakwah dibagi menjadi dua bagian yaitu tujuan utama dakwah dan tujuan departemental dakwah. Yang dimaksud tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil akhir yang dicapai atau diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah, yaitu terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat
    Sedangkan pengertian tujuan departemental/tujuan perantara dakwah yaitu nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridai oleh Allah masing-masing sesuai dengan bidangnya. Tujuan utama dakwah bersifat umum, sedang tujuan departemental dakwah merupakan tujuan yang lebih khusus.

Berpijak pada berbagai pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dakwah yaitu : terjadinya perubahan dalam diri manusia sehingga mau mengikuti agama Allah, dan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan guna memperoleh rida Allah dan kebahagiaan dunia-akhirat yang ditempuh melalui usaha :

  1. menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya;
  2. mengeluarkan manusia dari kegelapan/kesesatan menuju ke alam yang terang benderang di bawah petunjuk Ilahi
  3. melakukan perbaikan pada masyarakat Islam yang terkena "musibah" berupa penyimpangan dan tampak di dalamnya sebagian dari kemunkaran-kemunkaran, serta diabaikannya kewajiban-kewajiban oleh masyarakat tersebut.
  4. Memelihara keberlangsungan dakwah di kalangan masyarakat yang telah berpegang pada kebenaran, yaitu dengan pengajaran terus menerus, tadhkīr (pengingatan), tazkiyah (penyucian jiwa), dan ta'līm (pendidikan)
  5. menjadikan manusia yang dapat menciptakan "Hablum minallah" dan "hablum minannas" yang sempurna
  6. membangun masyarakat Islam

Fungsi Dakwah

Fungsi dakwah Islam adalah sebagai berikut :

  1. menyebarkan Islam kepada seluruh umat manusia agar rahmat Islam menjadi merata;
  2. melestarikan nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi sehingga keberlangsungan Islam terus berjalan dan tiada terputus;
  3. melakukan koreksi terhadap masyarakat melalui pelurusan akhlaq yang menyimpang, pencegahan segala bentuk kemunkaran dan pembebasan diri manusia dari kegelapan rohani.

Hukum Dakwah

Menyimak ayat-ayat al-Qur'ân dan hadith-hadith yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa dakwah Islamiyah merupakan suatu kewajiban. Kewajiban dakwah merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar karena melekat erat bersamaan dengan pengakuan diri sebagai muslim. Dengan kata lain setiap muslim secara otomatis adalah pengemban misi dakwah sebagaimana sabda Nabi
بلغوا عني ولو اية

Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku meskipun hanya satu ayat.

Dengan demikian dakwah merupakan bagian yang sangat esensial dalam kehidupan seorang muslim, di mana esensinya berada pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi keuntungan dirinya dan bukan kepentingan pengajaknya.

Di sisi lain, agama Islam sebagai suatu ajaran menjadi tidak berarti manakala tidak dimanifestasikan dalam amal. Ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan Islam yang menuntut umatnya menjalankan agama secara total: tidak sekadar menyatakan iman tetapi harus diikuti dengan melakukan amal saleh. Dalam al-Qur'ân surat al-'Asr ditegaskan bahwa iman bukan sekadar pengakuan an sich tetapi harus dimanifestasikan dalam bentuk amal saleh. Dengan kata lain nilai iman terukur melalui manifestasinya berupa perbuatan, sebaliknya perbuatan hanya merupakan tingkah laku primitif manakala tidak diiringi oleh perasaan iman kepada Allah.

Keimanan dan amal saleh di atas haruslah diiringi dengan prinsip kebenaran dan kesabaran, karena umat Islam hidup dalam interaksi dengan sesamanya. Di sini umat Islam dituntut untuk saling berpesan (tawâsaw) dalam kebenaran dan kesabaran dalam lingkungan sosialnya. Maka di sini berlangsung fungsi dakwah sebagai suatu kontrol sosial berdasarkan kebenaran.

Kesimpulannya dakwah merupakan kewajiban bagi umat Islam.

Persoalannya kewajiban itu apakah dalam kategori kewajiban perorangan (wajib 'ayn) yang dibebankan kepada setiap orang; ataukah dalam kategori kewajiban bersama (wajib kifâyah) yang apabila sudah dijalankan oleh beberapa orang maka yang lain sudah gugur kewajibannya.

Dalam masalah ini di antara para ulama' terjadi perbedaan pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa dakwah merupakan kewajiban setiap orang Islam (wajib 'ayn). Sebagaimana dinyatakan pada uraian sebelumnya bahwa setiap muslim secara otomatis adalah pengemban misi dakwah, berarti masing-masing umat Islam memiliki kewajiban berdakwah. Surat Ali Imran ayat 104 menunjukkan secara jelas akan wajibnya dakwah bagi setiap muslim, karena dalam ayat itu terdapat lam amar (لام أمر) pada kalimat wal-takun .(ولتكن)
Sedangkan kata min (من) dari kalimat minkum

(منكم), menurut Imam Khozin, sebagai penjelas/lil-bayan (للبيان) bukan menunjukkan arti sebagian/lit-tab'id (للتبعيض) sehingga surat Ali Imran ayat 104 haruslah diartikan : "Hendaklah kamu semua menjadi umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang munkar".

Ayat 71 dari surat at-Tawbah juga menyatakan bahwa secara umum dakwah merupakan kewajiban seluruh umat Islam, baik pria maupun wanita, bergotong royong melakukan amar ma'rûf nahiy munkar. Dengan demikian berarti, bahwa tiap-tiap pribadi orang Islam harus menjadi juru dakwah bagi dakwah Islamiyah. Dakwah bukan tugas kelompok khusus, di mana orang lain terbebas dari tanggung jawab. Seperti halnya tiap-tiap muslim dibebankan tugas mendirikan salat, membayar zakat, bersikap benar dan jujur, demikian pula dibebankan dengan tugas memindahkan keimanan ke dalam hati-hati yang kosong, menuntun orang yang bingung dan berpulang ke jalan Allah yang lurus. Karena itu , bahwa dakwah ke jalan Allah sama dengan sejumlah keutamaan jiwa dan tugas-tugas shari'at yang tidak khusus dengan seorang muslim saja, tetapi mencakup semua muslim.

Sejalan dengan uraian di atas, Jum'ah Amin Abdul Aziz menyatakan,

"Sesungguhnya tiap-tiap muslim yang membawa identitas Islam (baik secara aqidah maupun shari'ah) mengetahui bahwa ia diperintahkan untuk menyampaikan Islam ini kepada seluruh manusia, sehingga manusia dapat bernaung di bawah naungannya yang teduh. Di situlah mereka dapat menikmati ketentraman dan keamanan. Akan tetapi keamanan dan ketentraman itu tidak akan terwujud kecuali apabila setiap muslim sadar bahwa di pundaknya ada amanah yang berat terhadap dakwah secara universal, yang tidak dibatasi oleh zaman, tempat, negara, lembaga dan jamaah. Akan tetapi ini merupakan tanggung jawab setiap muslim, yang kesemuanya harus turut berpartisipasi. Maka setiap muslim dalam masalah ini mempunyai peran dan andil."

M. Natsir menegaskan bahwa

"tugas dakwah adalah tugas umat secara keseluruhan, bukan monopoli golongan yang disebut ulama' atau cerdik cendekiawan. Bagaimana suatu masyarakat akan mendapat kemajuan apabila para anggotanya yang mempunyai ilmu sedikit atau banyak baik ilmu agama atau ilmu dunia tidak bersedia mengembangkan apa yang ada pada mereka untuk sesamanya. Suatu ilmu yang bermanfaat, tiap-tiap yang 'khair' dan makruf, yang baik, patut dan pantas bisa terbit pada tiap orang. Dan tiap-tiap-tiap benih kebenaran itu mempunyai daya berkembangnya sendiri tinggal lagi menaburkan dan memupuknya. Dan bagaimana pula satu masyarakat akan selamat bila sama-sama anggotanya diam, masa bodoh terhadap kemunkaran. Tiap-tiap bibit kemunkaran mempunyai daya geraknya sendiri. Di waktu masih kecil dia ibarat sebutir bara yang tidak sukar mematikannya, akan tetapi bila ia dibiarkan besar akan susah untuk memadamkannya.

Pendapat kedua menyatakan bahwa dakwah merupakan kewajiban kolektif (wajib kifayah) yang bila telah dilakukan oleh sekelompok orang maka yang lain sudah gugur kewajibannya. Salah seorang ulama' yang berpendapat demikian adalah Habib Abdullah al-Haddad. Menurutnya,

"apabila sebagian umat Islam telah menjalankan tugas ini (dakwah melalui amar ma'rûf nahiy munkar, pen.) maka gugurlah dosa sebagian yang lain. Orang yang menjalankan tugas itu akan memperoleh pahala yang besar dari Allah SWT. Tetapi jika seluruh umat Islam mengabaikan tugas ini, maka dosanya akan menimpa setiap orang yang mengetahui hukum-hukumnya, manakala kemunkarann terjadi di depan matanya, sedang ia tidak mengubahnya dengan tangan atau lisannya, padahal ia mampu melakukannya."

Pendapat bahwa dakwah adalah wajib kifayah didasarkan pada Surat Ali Imran ayat 104, tetapi dengan penafsiran yang lain. Jum'ah Amin Abdul Aziz menjelaskan :

"Kalimat minkum (منكم) menunjukkan fardu kifayah, maka seluruh umat Islam diperintahkan agar sebagian mereka melaksanakan kewajiban ini. Ketika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, maka dakwah telah menjadi fardu 'ayn bagi orang tertentu, berdasarkan syarat-syarat yang ada pada mereka sebagaimana juga kewajiban itu gugur terhadap yang lain. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka dosalah mereka semua."

Muhammad bin Allan al-Siddiqi menjelaskan :

"Arti min (من) (dalam surat Ali Imran ayat 104) menunjukkan arti sebagian/lit-tab'id (للتبعيض); sebab di antara umat Islam ada beberapa orang yang tidak mampu melaksanakan amar ma'rûf nahiy munkar karena memang lemah. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa amar ma'rûf nahiy munkar diwajibkan hanya kepada ahli ilmu (ulama') dan pemegang kekuasaan (umara'). Karena itu ayat di atas diartikan : hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang beramar ma'rûf nahiy munkar."

Sejalan dengan pendapat di atas, Muhammad Ghazali memberi penegasan bahwa umat Islam harus melakukan pembagian tugas, sebab sekarang kita berada dalam suatu zaman di mana spesialisasi dalam bidang ilmu pengetahuan menjadi ciri khasnya. Dalam zaman ini perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, sehingga sangatlah sulit bagi seseorang untuk mendalami semuanya. Karena itu, patutlah sekelompok ulama' mengkhususkan diri dengan mempelajari da'wah ilal Islam saja, artinya memperdalam ilmu pengetahuan dakwah Islamiyah.

Kedua pendapat di atas sama-sama didasarkan pada sumber hukum Islam yang utama baik ayat al-Qur'ân atau hadith Nabi. Hal yang dapat ditarik garis hubungan di antara kedua pendapat tersebut bahwa dakwah merupakan tanggung jawab umat Islam. Persoalannya, kalau dakwah merupakan kewajiban setiap individu muslim, pasti akan berhadapan dengan kendala kemampuan setiap muslim yang tidak sama. Sedang kalau dakwah merupakan kewajiban yang apabila sudah dilakukan oleh sekelompok orang maka yang lain gugur kewajibannya, akan menyebabkan lemahnya tanggung jawab. Masing-masing pihak akan merasa bahwa sudah ada yang melakukan dakwah. Ketika dakwah ternyata tidak dilaksanakan, orang akan saling melempar tanggung jawab.

Kalau mungkin diperbandingkan kewajiban dakwah sama saja dengan kewajiban-kewajiban agama yang lain, seperti kewajiban salat bagi setiap muslim. Adapun pelaksanaannya dapat dilakukan sesuai dengan keadaannya masing-masing. Kalau dia tidak bisa berdiri, maka dapat melakukan dengan duduk; kalau tidak bisa dengan duduk, maka dapat melakukan dengan berbaring; bahkan kalau memang sangat sulit, maka boleh dilakukan dengan menggunakan isharat.

Penggambaran di atas menunjukkan bahwa kewajiban dakwah itu tetap ada, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan menurut kadar pengertian yang dimiliki. Seseorang yang mampu berdakwah dengan hartanya, maka ia harus melaksanakan dengan seoptimal mungkin. Mungkin yang lain mampu berdakwah melalui pidato, atau menggunakan tulisan, atau melalui media film dan sebagainya.

Sifat Dasar Dakwah

Dalam masalah sifat dasar dakwah, terdapat banyak pendapat. Salah satunya berasal dari Ismail Raji al-Faruqi. Menurutnya sifat-sifat dasar dakwah terdiri atas tujuh bagian yaitu :

  1. Dakwah bukanlah paksaan,
  2. Dakwah bukanlah "prabawa psikotropik",
  3. Dakwah ditujukan kepada pemeluk Islam dan non Islam,
  4. Dakwah adalah rational intellection,
  5. Dakwah adalah rationally necessary,
  6. Dakwah adalah anamnesis.

M. Hafi Ansari menyebut sifat dakwah yang terdiri atas enam hal yaitu :

  1. Dakwah bersifat jelas dan tegas
  2. Dakwah bersifat luas
  3. Dakwah bersifat luwes/fleksibel
  4. Dakwah itu berangsur-angsur/berproses
  5. Dakwah bersifat tidak memberatkan
  6. Dakwah bersifat kontinyu/terus-menerus.

Sedang Jum'ah Amin Abdul Aziz menggunakan istilah karakter dakwah. Menurutnya, dakwah Islam memiliki beberapa karakter yang membedakannya dengan dakwah lainnya di antaranya :

  1. Rabbaniyyah, artinya bersumber dari wahyu Allah SWT
  2. Wasatiyyah, artinya tengah-tengah atau tawazun (seimbang)
  3. Ijabiyyah, artinya positif dalam memandang alam, manusia dan kehidupan
  4. Waqi'iyyah, artinya realistis dalam memperlakukan individu dan masyarakat
  5. Akhlaqiyyah, artinya sarat dengan nilai kebenaran, baik dalam sarana maupun tujuannya
  6. Shumuliyyah, artinya utuh dan menyeluruh dalam menentukan segala sesuatunya.
  7. 'Alamiyyah, bersifat mendunia
  8. Shuriyah, berpijak di atas prinsip musyawarah dalam menentukan segala sesuatunya
  9. Jihadiyah, artinya terus memerangi siapa saja yang berani menghalangi Islam dan mencegah tersebarnya dakwah.
  10. Salafiyyah, menjaga orisinalitas dalam pemahaman dan akidah.

Dari berbagai rumusan oleh para ahli di atas, terlihat bahwa pendapat-pendapat tersebut saling mengisi satu dengan yang lain. Karena itu dapat dirumuskan sifat-sifat dasar dakwah sebagai berikut :

  1. Dakwah bersifat Rabbaniyyah

Dakwah bersifat Rabbaniyah artinya dakwah bersumber dari wahyu Allah SWT. Artinya aktivitas dakwah merupakan aktivitas yang memiliki pedoman yang jelas, yaitu dari al-Qur'ân dan al-Sunnah. Inilah sumber utama agama Islam. di mana aktivitas dakwah menyandarkannya.

Dengan kejelasan sumber pedoman seperti itu, maka aktivitas dakwah harus diarahkan pada terwujudnya tatanan yang berdasarkan ketuhanan (rabbaniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah dan menuju kepada Allah.

  1. Dakwah bukanlah paksaan

Dakwah bersifat demikian karena dakwah adalah suatu bentuk ajakan, yang sudah barang tentu mengharuskan suatu penciptaan kondisi di mana orang yang diajak dapat memenuhi ajakan tersebut semata-mata berdasarkan adanya "persetujuan" terhadap ajakan tersebut. Dengan kata lain, dalam dakwah yang lebih ditekankan adalah persuasi, yaitu berusaha mempengaruhi manusia untuk menjalankan agama sesuai dengan kesadaran dan kemauannya sendiri; bukan koersi atau pemaksaan, sebab pemaksaan adalah perampasan hak manusia dalam beragama.

Perintah dakwah dalam al-Qur'ân sama sekali tidak mengedepankan pemaksaan. Misalnya, surat al-Nahl ayat 125 yang sama sekali tidak menyebut pemaksaan. Dalam ayat ini sang dâ'i diperintahkan untuk berdakwah melalui jalan hikmah, maw'izah al-hasanah dan mujadalah. Al-hikmah (bijaksana) merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang dilakukan atas dasar persuasi. Karena dakwah bertumpu pada human oriented, maka konsekuensi logisnya adalah pengakuan dan penghargaan pada hak-hak yang bersifat demokratis, agar fungsi dakwah yang utama adalah bersifat informatif sebagaimana ketentuan al-Qur'ân :

فذكرإنماأنت مذكر لست عليهم بمسيطر

"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (al-Ghashiyah 21-22)

ولو شاء ربك لأمن من فى الأرض كلهم جميعا أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Yunus, 99)

نحن أعلم بما يقولون وما أنت عليهم بجبار فذكر بالقرأن من يخاف وعيد

"Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa mereka. Maka beri peringatanlah dengan al-Qur'ân orang yang takut kepada ancaman-Ku." (Qaf, 45).

Kemudian al-maw'izah al-hasanah berarti nasehat yang baik, bukan propaganda yang memaksakan kehendak kepada orang lain. Sedang mujadalah adalah berdiskusi atau berdebat.

Dalam dakwah terkadang perlu mujadalah, berdisuksi atau berdebat. Cara seperti ini dapat dibenarkan, sepanjang dilakukan dengan cara yang sehat tanpa ada pemaksaan kehendak. Sebab kegiatan dakwah merupakan suatu bentuk yang memberikan kesempatan untuk berfikir, berdebat dan menyanggah, di mana pemaksaan kehendak sama sekali tidak ada dan harus dihindari.

  1. Dakwah bukanlah "prabawa psikotropik",

Sifat kedua dari dakwah adalah bukan "prabawa psikotropik". Kalau pada sifat nomor 1 di atas terkait dengan mobilitas yang bersifat lahiriah, sedang sifat kedua ini lebih menekankan aspek batiniah.

Dakwah bukan sebagai "prabawa psikotropik" maksudnya dakwah bukanlah usaha yang dilakukan dengan cara melemahkan kesadaran orang lain.

Sebagaimana dikatakan oleh M. Arifin bahwa dakwah adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok, maka dalam dakwah sama sekali tidak ada atau tidak boleh ada usaha penghilangan kesadaran penerima dakwah (mad'u), semacam pengaburan dengan alat mistik ataupun kimiawi.

Menurut M. Arifin, dengan adanya dakwah diharapkan timbul dalam diri seseorang atau sejumlah orang suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama. Jadi yang diharapkan oleh dakwah adalah pengakuan atau persetujuan yang tulus tentang apa yang disampaikan. Maka apabila kesadaran seseorang yang diseru kepada Islam dilemahkan, tentunya dakwah yang dilakukan terhadap mereka yang kehilangan kesadaran atau kehilangan ta'aqqul atau mengingat intelektual terhadap fakta dan gagasan untuk membuat suatu kesatuan dan konsisten secara keseluruhan, bukanlah termasuk dakwah Islam.

Oleh karena itu dakwah bukanlah pekerjaan magis, illusi atau usaha untuk menyenangkan kesenangan atau bentuk-bentuk psikotropika lainnya.

  1. Dakwah bersifat universal/mendunia/'âlamiyyah yang ditujukan kepada pemeluk Islam dan non Islam

Islam merupakan agama untuk seluruh umat manusia, tidak memandang ras, bangsa, keturunan, atau suku bangsa. Dalam al-Qur'ân ditegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus membawa Islam untuk seluruh umat manusia :

وما أرسلنك إلا كافة للناس بشيرا ونذيرا ولكن أكثرالناس لايعلمون

سبأ 28

"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (Saba' 28).

Berdasar ayat tersebut, maka sasaran dakwah ditujukan kepada mereka yang sudah menganut Islam maupun yang belum menganut Islam. Menurut A. Hasjmy sasaran dakwah Islam dapat dibagi menjadi tiga macam :

  1. Manusia muslim, yang dapat dibagi menjadi empat macam:
    1. Manusia muslim yang berimbang iman dan amal salihnya
    2. Manusia muslim yang tidak berimbang antara iman dan amal salihnya
    3. Manusia muslim taat dan taqwa
    4. Manusia muslim yang ma'siyat dan durhaka
  2. Manusia kafir, yang dapat dibagi menjadi tiga macam:
    1. Manusia kafir kitabi samawi, seperti Yahudi dan Nasrani
    2. Manusia kafir kitabi non samawi, seperti Hindu, Budha dsb
    3. Manusia kafir ilhadi, seperti penganut atheisme.
  3. Manusia munafiq

Begitu luasnya sasaran dakwah di atas menunjukkan bahwa dakwah bersifat universal, bersifat mendunia ('âlamiyyah). Selain itu universalitas dakwah dapat ditinjau dari asas kebenaran umum yang menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang mempunyai watak dasar untuk menyebarluaskan kebahagiaan kepada orang lain. Bagi mereka yang telah menganut Islam, dakwah Islam diarahkan pada peningkatan mutu keimanan dan keislamannya. Sedang bagi mereka yang belum menganut Islam diusahakan agar mereka mau mengikuti Islam dengan semangat yang tulus dan tanpa merasa terpaksa.

  1. Dakwah adalah rational intellection,

Dakwah disebut sebagai rational intellection karena dakwah merupakan suatu proses yang kritis, terbuka terhadap bukti-bukti atau kenyataan baru, bersifat tidak dogmatis, tidak didasarkan atas kewenangan seseorang atau suatu tradisi.

Dengan demikian dakwah sangat terbuka terhadap hal-hal baru, selama hal baru itu memiliki kontribusi positif atau membawa manfaat bagi dakwah. Dakwah akan terus-menerus menyusun dan menyusun lagi bentuk baru dalam bentuk pengetahuan dari suatu penemuan baru dari ilmu pengetahuan tentang manusia berdasarkan suatu kebutuhan baru dan situasi manusia.

Ditinjau dari subyek dakwah atau dâ'i –dalam konteks dakwah sebagai rational intellection– dalam melakukan dakwahnya si dâ'i tidak bertindak sebagai duta besar dari suatu sistem kewenangan, tetapi sebagai bagian dari para pemikir yang bekerjasama dengan mereka yang mendengarkan dakwah (mad'u) dalam pengertian dan apresiasi wahyu-wahyu Ilahi.

Dari segi obyek dakwah, proses inteleksasi hendaknya tidak pernah berhenti. Imannya senantiasa bersifat dinamis dan intensitasnya semakin tumbuh dengan kejernihan pandangan, visi dan pemikiran yang komprehensif.

  1. Dakwah bersifat luwes/fleksibel

Ajaran Islam yang jelas dan tegas harus dilaksanakan oleh seluruh manusia sesuai kondisi dan kemampuannya masing-masing. Dinamika ajaran Islam yang demikian menyebabkan usaha dakwah menjadi usaha yang bersifat luwes, dengan pengertian bahwa kondisi dan situasi perlu dijadikan pertimbangan untuk mengambil langkah yang sekiranya lebih sesuai dan serasi dengan obyeknya. Keluwesan dakwah dapat dilihat dari segi cara yang digunakan oleh para da'i, yang terkadang cara-cara yang dipakai untuk seseorang tidak cocok untuk orang lain.

Dalam soal materi dakwah, seorang dâ'i dituntut dapat menentukan prioritas materi yang tepat. Dalam segi pemakaian alat, si dâ'i tidak boleh bertumpu pada satu alat saja. Kemudian dalam segi tujuan, dâ'i tidak boleh terpancang pada tujuan akhir atau tujuan maksimal saja, sebab membina manusia mengenal tempo dan irama, ada yang cepat berhasil adakalanya pula sangat lambat keberhasilannya. Untuk itu diperlukan tujuan antara yang perlu digariskan terlebih dahulu sebelum sampai kepada tujuan akhir.

Keluwesan dalam dakwah bukanlah berarti harus mengubah prinsip ajaran Islam, tetapi berupaya membangkitkan kesadaran umat terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam itu, kemudian dapat mengamalkannya dengan penuh kegairahan, keyakinan dan mendatangkan ketentraman di dalam diri mereka.

Untuk itu dâ'i dituntut memiliki wawasan yang luas baik dalam soal pengetahuan maupun berbagai cara pendekatan terhadap masyarakat.

  1. Dakwah adalah rationally necessary

Dakwah Islam menyatakan materi dakwah secara rasional. Dakwah adalah suatu prestasi atau penyajian penilaian kritis bagi nilai-nilai kebenaran, sebuah preposisi, sebuah fakta tentang metafisik dan etik serta relevansinya bagi manusia. Inilah makna dari pernyataan bahwa dakwah adalah rationally necessary.

  1. Dakwah adalah anamnesis

Dakwah adalah anamnesis maksudnya dakwah berusaha mengembalikan manusia kepada sifat aslinya yang fitri (suci) yaitu sifat asal manusia sejak lahir yang menjadikannya secara kodrati menerima kebenaran Islam.

Allah swt. dalam memerintahkan manusia untuk menyeru ke jalan Allah, tidaklah untuk menyeru manusia terhadap sesuatu yang baru, yang jarang dan tidak diketahui. Islam adalah agama fitrah, agama yang sesuai dengan hukum alam yang ada dalam diri manusia. Ini adalah pembawaan alam yang merupakan unsur pokok bagi kemanusiaan. Manusia yang bukan homo religius atau homo Islamicus adalah bukan manusia. Ini adalah tanda dari ciptaan Allah yakni Dia telah memberkati seluruh manusia dengan seluruh fitrah untuk mengakui Allah Yang Maha Esa.

  1. Dakwah bersifat Akhlaqiyyah

Dakwah bersifat akhlaqiyyah artinya dakwah sarat dengan nilai kebenaran, baik dalam sarana maupun tujuannya. Sifat akhlaqiyyah dalam dakwah terkait dengan missi utama diutusnya Nabi Muhammad sebagai "penyempurna akhlaq yang mulia". Dengan demikian dakwah harus menjunjung tinggi akhlaq yang mulia baik dalam konteks pengabdian kepada Allah (hablun minallah) maupun pergaulan dengan sesama manusia (hablun minannas).

Seorang dâ'i harus memiliki akhlaq yang mulia. Akhlaq itulah modal utamanya. Tanpa memiliki akhlaq yang mulia perjuangan dakwah akan menjadi berhenti di tengah jalan.

  1. Dakwah bersifat jelas dan tegas

Risalah Islamiyah yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak memiliki segi-segi yang kabur. Dasar dan tujuannya jelas, bahkan secara tegas dakwah mempertegas garis di antara mukmin dan kafir, antara perbuatan baik dan buruk, antara yang haq dan batil, antara sifat tercela dan terpuji dsb.

Ketegasan dan kejelasan dakwah Islam bukan dalam arti tindakan yang kaku dan keras. Memang dalam perjalanan dakwah Islam terdapat peperangan-peperangan. Hal ini bukan berarti Islam itu dipaksakan kepada orang lain lewat pedang. Peperangan itu ditempuh dalam keadaan tertentu yang memaksa, dan tak ada jalan lain yang lebih baik.

  1. Dakwah bersifat luas dan menyeluruh (Shumuliyyah)

Karena ajaran Islam menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, baik individu atau pun kelompok, maka dakwah itu pun menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia yang cukup luas cakupannya. Tegasnya dakwah bersifat shumuliyyah, artinya utuh dan menyeluruh dalam menentukan segala sesuatunya.

Yang jelas dakwah yang berintikan amar ma'rûf nahiy munkar dilaksanakan dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih baik. Amar ma'rûf nahiy munkar sebagai inti dakwah mencerminkan keluasan dakwah. Karena inti itulah kemudian terbentuk hukum-hukum tertentu. Amar ma'rûf melahirkan hukum wajib dan sunnah; nahiy munkar melahirkan hukum haram dan makruh; sedang semua yang tidak diperintah atau tidak pula dilarang termasuk mubah.

  1. Dakwah itu berangsur-angsur/berproses

Dakwah sebagai suatu usaha pembinaan keagamaan bagi seseorang atau kelompok dalam rangka mewujudkan keadaan yang lebih baik dalam bidang keimanan, amalan dan akhlaq menurut ajaran Allah dan Rasul-Nya, bukanlah suatu usaha yang sekaligus bisa dirampungkan dalam waktu yang relatif singkat, tetapi mengenal adanya proses dari yang sederhana menuju ke arah yang semakin sempurna. Hal itu ditentukan oleh perkembangan yang ada pada diri manusia itu sendiri dalam semua aspeknya, di samping ditentukan oleh adanya hidayah Allah swt. Selain itu faktor lingkungan baik yang mendorong atau yang menghambat, ikut menentukan berhasil tidaknya usaha dakwah. Untuk itu proses dakwah harus dimulai dari sesuatu yang mudah lalu beranjak kepada hal yang sulit; atau dari sesuatu yang prinsip kemudian beranjak kepada masalah yang bersifat penyempurnaan.

  1. Dakwah bersifat tidak memberatkan

Islam merupakan agama yang diturunkan untuk manusia. Karena itu Islam sudah dapat dipastikan bersifat tidak memberatkan manusia. Islam dapat dipastikan sesuai dengan kemampuan atau kondisi manusia. Sehingga ajaran Islam bersifat mudah dan tidak berat untuk dilaksanakan oleh siapa pun.

Dalam kaitan masalah di atas dapat dicermati firman Allah dan sabda Rasulullah SAW. sebagai berikut :

لايكلف الله نفسا إلا وسعها البقرة 286

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.

يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر البقرة 185

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu

وماجعل عليكم
فى الدين من حرج الحج 78

Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

إن الدين يسرٌ ولن يُشادَّ الدينَ احدٌ إلا غلبَه

Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang menyulitkan agama, kecuali tidak akan mampu melaksanakan.

Berpijak pada firman Allah dan sabda Rasul di atas, maka dakwah Islam haruslah mudah diterima oleh orang lain, sehingga tidak ada keberatan-keberatan di dalamnya dan kemudian orang itu dapat dengan mudah melaksanakannya.

  1. Dakwah bersifat Tawassut dan Tawazun.

Tawassut/Wasatiyyah artinya tengah-tengah. Tawazun artinya seimbang. Dakwah memiliki sifat tawassut dan tawazun. Dakwah bersifat tawassut berarti dakwah menempatkan diri di antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran; serta menghindari sikap ekstrim, yaitu keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan, karena ekstrimitas akan menjauhkan dakwah dari kebajikan. Kebajikan selamanya berada di antara dua ujung (kanan dan kiri).

Berkaitan dengan tawassut adalah tawazun yang berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsure atau kekurangan unsure lain. Dalam konteks dakwah, sifat tawazun berarti menyerasikan diri dalam khidmah kepada Allah swt. dan khidmah kepada sesama manusia.

Tawassut dan tawazun merupakan kunci keberhasilan dakwah sehingga umat Islam menjadi umat pilihan.

  1. Dakwah bersifat kontinyu/terus-menerus

Kegiatan dakwah merupakan suatu usaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah swt. Terutama dalam diri setiap orang. Karena itu dakwah dapat dikatakan sebagai kegiatan pembinaan kepribadian tertentu yaitu kepribadian muslim.

Usaha pembinaan memerlukan usaha yang terus-menerus, karena pembinaan pribadi erat hubungannya dengan perkembangan seseorang, sedangkan perkembangan itu berlangsung secara terus-menerus pula.

Dalam rangka pembinaan kepribadian langkah yang dapat ditempuh yaitu

  1. pembiasaan
  2. pembentukan pengertian, sikap dan minat
  3. pembentukan kerohanian yang luhur

Pembiasaan pada dasarnya memberikan kecakapan berbuat dan kecakapan mengucapkan sesuatu (hafalan). Pembentukan pengertian, sikap dan minat, pada dasarnya memberikan pengertian/pengetahuan tentang amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan, sehingga dengan pengertian itu akan terbentuklah pendirian atau sikap yang nantinya akan memperbesar minat seseorang.

Sedang pembentukan kerohanian yang luhur adalah kesadaran dan pengertian yang mendalam. Segala apa yang dipikirkan, dipilihnya diputuskannya, serta dilakukannya adalah berdasarkan keinsafannya sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.

Oleh karena itu guna pembinaan kepribadian muslim seperti di atas yang ditandai dengan pengamalan agama dengan penuh keinsafan dan tanggung jawab, dakwah Islam tidak dapat dilakukan melalui kegiatan yang insidentil, apalagi kalau dihubungkan dengan sifat dakwah sebelumnya bahwa penyampaian dakwah haruslah berangsur-angsur atau setahap demi setahap. Dakwah Islam haruslah diberikan secara terus-menerus dan teratur sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai.

1 komentar:

  1. josh.. makasih banyak atas postingannya. sangat2 membantu saya dalam mata kuliah ini

    BalasHapus